Selasa, 01 Januari 2013

Sejarah Desa Niaso

SEJARAH ASAL USUL BERDIRINYA DESA NIASO Desa niaso terletak diseberang kota Jambi yang lebih tepat lagi diseberang desa Kunangan. Desa ini berjarak ± 20 km dari Kota Jambi, terletak di Kecamatan Maro Sebo Kabupatn Muaro Jambi diujung Kecamatan Maro Sebo berbatasan langsung dengan desa Bakung dan diujung kota Jambi berbatasan dengan Tanjung Johor Kecamatan Pelayangan Kota Madya Jambi. Untuk bisa sampai kedesa Niaso, kita bisa menempu perjalanan dengna menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat dengan melewati jembatan aurduri II, ± 20 meter setelah jembatan aurduri II belok kekiri dan tidak begitu jauh maka terlihat jembatan pembatas antara jembatan aurduri II kota Jambi dengan Desa Niaso. Kemudian ikuti jalan yang menyusuri pinggiran sungai Batanghari yang berada disebelah kanan, pada saat bertemu 2 toko yang berada dipinggir jalan sebelah kiri dan bertemu lorong, masuk saja kelorong sebelah kiri tersebut. Pada zaman dahulu kala belum ada yang namanya desa Niaso. Diseberang Desa Niaso sekarang terdapat sungai Niaso, yang dahulu sungai ini juga belum memiliki nama. Deseberang sungai ini dahulu ± 1 km masuk kedalam hutan ada sebuah pemukiman penduduk yang kurang lebih memiliki 7 buah rumah huni untuk penduduk setempat, mereka adalah orang pendatang semua yang terdiri dari beberapa suku, yaitu suku Melayu dan suku Jawa, mereka masuk kehutan membuat pemukiman sendiri jauh dari pemukiman yang lain dikarenakan mereka tidak mau dijajah oleh Belanda. Asal mula mereka datang menemukan pemukiman baru ini dengan menelusuri sungai Batanghari lama menelusuri sungai mereka menemukan muaro sungai mereka pun memasuki muaro sungai, terus memasuki anak sungai ini, sesampai disungai kecil ini medan yang dilewati makin berat karena dipermukaan air sungai banyak sekali terdapat tumbuhan kiambang dalam bahasa setempat, yang lebih kita dikenal dengan nama tumbuhan encenggondok, dengan susah payah menempuh medan berat yang membutuhkan perjalanan satu hari penuh, mereka pun mulai naik kedaratan perjalanan pun dilanjutkan dengan berjalan kaki, rombongan ini berjalan terus masuk kedalam hutan setelah kurang lebih menempuh perjalanan yang berjarak 1 km dari sungai akhirnya berhenti untuk beristirahat, badan mereka terasa letih menempuh perjalanan panjang. Setelah mereka merasa segar kembali mereka pun pergi meninggalkan tempat peristirahatan, akhirnya tempat yang mereka singgah menjadi tempat pemukiman. Setelah itu mulailah mereka mendirikan pondok-pondok untuk tempat tinggal mereka, maka diperkirakan berdirilah sebanyak 7 buah pondok tempat tinggal mereka dan diperkirakan pondok ini semuanya menghadap kebarat yaitu menghadap matahari tenggelam. Kehidupan mereka mulai dijalankan seperti pada masyarakat umum lainnya, haripun mulai berganti hari, bulan berganti bulan, tahun berganti tahun, keluarga mereka pun mulai bertambah dengan datangnya angka kelahiran. Tapi ada yang membuat resah hati mereka yaitu berapa banyak yang lahir selalu seimbang dengan angka kematian diantara penduduk, mereka mulai berpikir untuk mengatasi permasalahan yang sedang dihadapi karena dari 7 buah pondok tidak bertambah, jumlah pondok tidak bertambah berarti penduduknya pun juga tidak bertambah, akhirnya untuk mengatasi permasalahan yang ada mereka pindah dari dusun ini untuk mendari tempat yang baru, diperkirakan lebih baik dari tempat yang sekarang mereka huni. Dusun ini akhirnya dikenal dengan nama Dusun Tuo, didusun tuo ini belum diketahui berapa lama menjadi perkampungan tempat tinggal asli warga niaso. Perjalanan pencari tempat baru untuk dijadikan perkampungan pun mulai dilakukan, mereka meninggalkan dusun tuo perjalanan pun dimulai menelusuri lebatnya hutan belantara dengan membawa semua perlengkapan rumah tangga yang dianggap sangat diperlukan untuk bekal diperjalanan maupun untuk menyambung hidup baru, kurang lebih berjarak 500 meter dari dusun tuo mereka berhenti, kalau dihitung dari pinggir anak sungai jaraknya ± 1.5 km dan mulailah membangun perkampungan baru, bahu membahu mereka mulai mendirikan pondok/rumah untuk tempat tinggal, rasa kekeluargaan diantara mereka sangat tinggi walaupun terdiri dari berbagai suku. Ditempat yang baru ini penduduknya mulai bertambah dapat dilihat dari 7 buah rumah diperkirakan waktu itu menjadi 17 buah, ini tentu menjadi perkembangan yang sangat baik dalam pertumbuhan penduduk , pertumbuhan ini menimbulkan semangat baru bagi mereka, kehidupan dijalankan dengan adat istiadat yang mereka tetapkan untuk menambah kerukunan diantara mereka, haripun mulai berganti hari, tahun berganti tahun, kehidupan dijalankan sebagaimana mestinya, rupa-rupanya pertumbuhan penduduk ini tidak lebih dari sebatas 17 rumah saja, nasib sebatas 17 rumah saja, nasib yang terjadi didusun tuo terulang kembali didusun baru ini, dusun baru ini dinamakan dengan nama Dusun Lamo, diperkirakan pada waktu itu tiap tahunnya angka kelahiran selalu diimbangi dengan angka kematian kembali, permasalahan ini kembali membuat resah hati penduduk. Ditengah - tengah penduduk tersebut ada seorang ulama yang cukup disegani oleh sesama penghuni dusun ini, Ia bernama Syekh Usman Daud Bapaknya berasal dari keturunan Turki yaitu anak dari Datuk Berhalo sedangkan Ibunya berasal dari Kerinci. Pada suatu hari Syekh Usman Daud berjalan-jalan terus menyelusuri sungai yang airnya hitam ini, perjalanan panjang akhirnya sampai juga menuju muaro sungai. Muaro sungai ini menghubungkan dengan sungai Batanghari, sesampai kemuaro sungai, mata Syekh Usman Daud tertuju ke dalam sungai, dilihatnya banyak sekali ikan didalamnya, diambilnya rumput dipinggir sungai dilemparkan rumput tadi kedalam sungai. Rupanya apa yang terjadi, ikan tadi berebutan memakan rumput, karena melihat banyak sekali ikan untuk memancing, tapi Syekh merasa bingung karena tidak membawa pancing untuk menangkap ikan, lama berpikir akhirnya timbul ide dilihatnya dijari tangannya ada sebuah cincin Suwaso berwarna kekuning-kuningan, dilepaslah cincin tersebut yang bertujuan untuk dibuat kail pancing, cincin tersebut diluruskan terus dibengkokan kembali, dibentuk mirip sebuah mata kail pancing terus diikatkan ke sebuah tali yang berada di pinggirnya, sewaktu mau meletakkan pancing ke sungai Syekh memotong kulit telapak kakinya untuk dijadikan umpan. Karena potongannya terlampau dalam hingga kakinya mengeluarkan darah, tapi alangkah terkejutnya Syekh meliha darahnya bukan berwarna merah tapi berwarna putih, tapi akhirnya tidakh di hiraukannya darah yang terus keluar, niat memancing terus dilaksanakan, pancingan pun dilemparkan kedalam sungai, tidak begitu lama pancingan Syekh ditarik ikan, setelah diangkat terlihatlah yang memakan pancingan Syekh, dan ternyata Ikan Kalso atau nama lain ikan Harwana. Dari kisah memancing inilah muaro sungai tadi dinamakan Niaso yang berasal dari kata cincin suwaso dan ikan kalso. Muara sungai yang dinamakan Niaso merambah terus menjafi nama sungai yang ada di dalam muaro sungai tersebut. Kita kembali ke kisah Syekh Usman Daud yang memancing ikan tersebut, Syekh merasa senang mendapat ikan tersebut, ia pun pulang ke dusun Lamo, kembali menyusuri sungai umtuk menuju perjalanan pulang akhirnya perjalanan menuju Desa Lamo sampai juga, sesampai di Dusun orang-orang heran melihat Syekh membawa ikan kalso yang ukurannya cukup besar tapi tidak ada satupun membawa peralatan yang menangkap ikan. Orang-orang pun akhirnya beramai-ramai mendekati Syekh Usman Daud menanyakan bagaiman bisa mendapat ikan kalso tersebut, akhirnya Syekh Usman Daud menceritakan kisah penangkapan ikan tersebut, dan menunjukan telapak kakinya mata orang-orang tertuju pada kai Syekh, sewaktu dilihat darah masih mengalir dari telapak kaki Syekh, orang-orang pun menanyai Syekh mengapa darah yang keluar bukan berwarna merah tetapi berwarna putih tanya warga dengan nada yang sedikit bingung, Syekh pun juga merasa bingung, Syekh menjawab :”saya juga tidak tahu mengapa darah saya berwarna putih”. Kisah tersebut terus menerus menjadi perbincangan penduduk setempat. Syekh merupakan orang yang disegani selain itu juga dituakan di dusun tersebut dengan kejadian tersebut semenjak dahulu hingga sekarang Syekh Usman Daud lebih dikenal dengan nama Datuk Darah Putih. Marilah kita ceritakan asal desa Niaso sekarang, yanng mana perpindahan desa yang untuk ketiga kalinya atau untuk terakhir kalinya. Letak Desa Niaso yang sekarang kita kenal dahulu mmerupakan hhutan bekantara tannpa penghuni. Pada ± tahun 1920 ada seorang yang bernama Kemas Ngebi Jalil, Ngebi merupakan gelar kehormatan yang diberikan kolonial Belanda pada orang pribumi yang diangggap berjasa kepada kolonial Belanda. Kemas Ngebi Jalil berasal dari desa Setiris kedatangannya ketempat ini bertujuan untuk berkebun karet dan kebun-kebun lain yang bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, setelah membuka kebun Kemas Ngebi Jalil merasakan tempat ini bagus untuk dijadikan perkebunan akhirnya ia mengajak keluarga dan kerabatnya untuk membuka kebun bersama-sama, pekerjaan membuka kebun terus dilaksanakan, dirasa bolak-balik dari Desa Setiris cukup jauh akhirnya Kemas Ngebi Jalil mendirikan pondok bersama keluarga dan kerabat supaya kebun yang mereka kerjakan sesuai dengan hasil yang diharapkan. Tahun pun berganti tahun dan pada akhirnya mereka menetap dikebun ini layaknya seperti dususn yang baru dibuka, rombongan dari desa Setiris ini berkembang biak, angka kelahiran pun bertambah, berita tentang perkembangan penduduk asal desa Setiris menjadi perhatian khusus dimata Dusun Lamo, mulailah timbul niat penduduk dusun Lamo untuk berbaur dengan penduduk pendatang dari Desa Setiris, dengan lapang dada rombongan asal Setiris memberikan bidang tanah untuk dijadikan tempat tinggal penduduk dusun lamo, semenjak itu penduduk dusun Lamo semuanya ikut berbaur keluar dari dusunnya, mereka hidup berdampingan dengan paendatang dari Desa Setiris, dusun Lamo akhirnya ditinggalkan penduduknya. Semenjak keluarnya penduduk Dusun Lamo meninggalkan dusunnya, bergabung dengan Kemas Ngebi Jalil, perkembangan penduduk dusun Lamo juga mengalami pertumbuhan, hubungan antara penduduk dusun Lamo juga mengalami pertumbuhan, hubungan antara penduduk dusun Lamo dengan penduduk dari asal Setiris mungkin begitu akrab bagaikan satu keluarga yang tidak dapat dipisahkan dan juga terjadilah perkawinan antara penduduk dusun Lamo dengan penduduk asal Setiris, rasa kekeluargaan ini terjalin erat hingga sampai sekarang. Dengan kejadian hijrahnya penduduk dusun Lamo bergabung dengan rombongan asal Setiris ini merupakan untuk ketiga kalinya perpindahan penduduk asli Dusun Lamo, karna dusun baru ini belum memilki nama maka diambilah nama sungai Niaso dijadikan nama desa Niaso. Bukti sejarah Dusun Tuo dan Dusun Lamo masih ada hingga sekarang, dari penuturan datuk SARBAINI mantan kepala kampung yang menjabat pada tahun 1973 hingga 1994 mengatakan pernah ditemui perlengkapan rumah tangga berupa guci dan pedang dibekas dusun ini sewaktu warga membuka lahan untuk dijadikan perkebunan karet, bukti disini dahulu ada pernah didirikan dua buah dusun dapat dilihat dengan bukti adanya kuburan, dan salah satu makam tersebut diyakini oleh warga setempat adalah makam seorang ulama yang bernama Syekh Usman Daud yang lebih dikenal dengan gelar Datuk Darah Putih. Bagi warga setempat makam ini dijadikan makam keramat, keramat dengan kata lain sebutan untuk makam orang suci. Adapun beberapa orang yang pernah memegang tampuk kepemimpinan didesa Niaso tempo dulu hingga sekarang tahun 2009 diantaranya ; dengan gelar penghulu yaitu, pertama penghulu Sahpudin menjabat ± tahun 1920 sampai 1931, kedua penghulu Usman menjabat ± tahun 1931 sampai 1935, ketiga penghulu Nafiah menjabat ± tahun 1935 sampai 1947, keempat penghulu Yusup menjabat ± tahun 1947 sampai 1950, pada periode kepemimpinan yang kelima berubah nama dari penghulu menjadi kepala kampung, yang kelima yaitu; kepala kampung M. Nafiah menjabat ± tahun 1950 sampai 1971 , keenam kepala kampung Ilyas menjabat ± 1971 sampai 1973, ketujuh kepala kampung Sarbaini tahun 1973 sampai 1994 di tengah-tengah kepemimpinan Datuk Sarbaini terjadi perubahan nama yang memimpin desa dai kepala kampung menjadi KADES, kedelapan dipimpin oleh Kades Jufri dari tahun 1994 sampai 2008 dan yang kesembilan dipimpin Kades Zulkifli menjabat dari akhir tahun 2008 sampai sekarang. Jadi mulai berdirinya desa Niaso hingga sekarang telah dipimpin sebanyak 9 orang pemimpin desa, ditangan sembilan datuk inilah desa Niaso menjadi maju, yang dahulunya desa ini jauh tertinggal dan bahkan tidak diketahui oleh orang luar. Hingga akhirnya menjadi sejajar dengan desa-desa tetangga. Apabila didalam penulisan kata-kata, nama, tempat, waktu, dan tahun kurang tepat dengan sejarah yang sebenarnya dan kurang berkenan dihati para sejarah desa Niaso, kami minta maaf dan menerima kritik dan saran untuk memperbaiki isi tulisan asal usul desa Niaso. Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih. Narasumber : 1. Ketua BPD sekarang Bapak A. Sani

Rabu, 07 September 2011

cerpen "Sarapan Pagi"

Sarapan Pagi
Oleh Eka Sutrisni (E.S Aquarius)
Jambi, 27 Juli 2011 19:09 wib
Pagi hari yang habis diguyur hujan, Rara masih merebahkan badannya diatas tempat tidur. Dia pun menikmati dinginnya pagi yang menusuk ke dalam tulang. Ketika Rara sedang asyik menikmati dinginnya pagi, tiba-tiba terdengar.
“Punyo anak gadis dak pernah bangun subuh.” Ujar sang Bapak yang sedang menggendong seorang bayi.
Sesosok Ayah yang ganas, cerewet melebihi wanita dan selalu mencari kesalahan terhadap anaknya. Padahal dia tidak tahu betapa tersiksanya batin anak-anaknya. Sesosok ayah itu bernama Zuhdi, dia memiliki seorang istri yang bernama Priati. Suami istri itu, memiliki tiga orang anak. Anak-anak mereka yang pertama perempuan, anak yang kedua dan ketiga laki-laki. Anak pertama bernama Rara Triani, anak kedua bernama Raffi, dan anak yang bungsu nomor tiga bernama Ramanda.
“Mentang-mentang hari hujan, bangun nak siang jugo. Macam mano kalau punyo laki besok? Bangun bae siang terus.” Kata-kata yang menyakitkan terucap lagi dari bibir sang Ayah.
Ketika Rara hendak bangkit dari tempat tidur dan membuka pintu kamar, terdengarlah ujaran yang membuat Rara merasa sakit hati. Padahal Rara bangun dari tidurnya pada pukul 05.45 wib.
Menurut Rara jam segitu masih pagi, tetapi menurut Ayahnya itu sudah siang. Rara pun langsung bergegas membersihkan dan membereskan rumahnya. Seperti biasa, setiap bangun tidur Rara tidak langsung mencuci muka melainkan langsung beres-beres rumah dan mengambil sapu untuk mebersihkan ruangan.
Sebelum Rara beres-beres rumah, dia merendam pakaian yang akan dicuci. Menjelang semua kotoran di pakaian terangkat, Rara beres-beres dan membersihkan ruangan didalam rumah.
“Awak betino, tapi bangun siang terus. Kalau kau lah belaki, dak malu samo laki kau? Apolagi kalau kau tinggal samo mertuo. Lokak keno marah bae kau pagi-pagi.” Ujar Sang Bapak yang judes dengan kata-kata yang menyakitkan sambil menikmati kopi susu hangat.
Rara yang sedang asyik beres-beres dan membersihkan ruangan, terkejut mendengar ujaran itu. Rara pun tercengang mendengar ujaran pahit itu. Dia hanya bisa terdiam dan menahan sesak didada, matanya pun berkaca-kaca. Dia menahan air mata dan rasa sakit di hatinya dengan ujaran itu.
“Sudahlah, Pak! Kan dio jugo bangun dak sampe jam 9.” Sahut sang Ibu membela anaknya.
“Iyo sich! Tapi kan dio tuh betino, aturan bangun jam 4 subuh. Jadi, betino malas nean. Kalau dak di banguni dak bangun-bangun.” Tandas sang Bapak dengan suara lantang dan ketus.
Rara hanya bisa diam, dan dia tidak tahu harus berbuat apa. Tak ada senyuman yang menghiasi wajah Rara yang manis dan selalu ceria di depan orang-orang. Rara yang tidak sombong dan ramah itu harus menerima kepahitan hidup yang setiap hari dan sepanjang hidupnya. Seolah-olah Rara bukan anak kandung dari Pak Zuhdi dan Bu Priati.
“Sebenarnya aku ini siapa? Apakah aku bukan anak kandung mereka?” pertanyaan yang timbul dari hati Rara sambil menyapu ruangan kamar.
“Tengok tuh anak kau! Kalau dibilangi muncungnyo panjang. Ngambek.” Tandas Pak Yudi ketus.
Rara hanya menahan rasa kecewa dan sakit hati kepada Bapaknya. Padahal Rara tidak pernah seperti apa yang dikatakan Bapaknya. Rara hanya diam tanpa kata, karena tidak mau ribut dengan Bapaknya. Apalagi umur Rara yang sudah beranjak 22 tahun. Dia harus bersikap dewasa dan sabar.
“Ado apo sih? Ribut nian, kayak di pasar angso bae.” Sahut Raffi adik Rara yang baru bangun dari tidurnya.
“Ini sikok lagi, jantan dak tau diri. Sudahlah bangun siang, dak pernah bantu orangtuo, sibuk pulo.” Tandas sang Bapak kesal.
Raffi pun langsung terdiam dan wajahnya memucat. Raffi anak kedua dari Pak Zuhdi dan Bu Priati adalah seorang anak yang pemalas, tidak pernah membantu orangtuanya. Semenjak TK sampai dia tamat SMA, dia selalu dimanja. Kerjaannya hanya ngluyur saja. Orangnya keras kepala, tidak mau diperintah orangtua ataupun kakaknya. Tetapi, kalau disuruh sama orang dia sangat cepat sekali.
Rara selalu memaklumi sifat dan sikap adiknya yang tidak pernah menolong keluarganya sendiri. Karena selalu dimanja Raffi menjadi anak yang suka ngelawan sama orangtua. Apalagi dia tahu dengan sifat Bapaknya yang kejam dan cerewet itu.
“Hmm, dasar burung beo.” Ujar Raffi dengan suara pelan.
Setelah Rara selesai beres-beres dan menyapu ruangan di dalam rumah. Rara pun langsung menuju kamar mandi dan menyuci pakaian yang sudah direndamnya tadi sebelum beres-beres rumah dan menyapu ruangan.
***

Pagi hari yang dingin dan diguyur hujan lagi ditambah dengan padamnya lampu. Membuat Rara malas untuk turun dari tempat tidur. Rara pun menarik selimutnya yang tebal. Pagi itu masih pukul 4 subuh, tetapi Rara tidak bisa memejamkan matanya karena dia ingat kata-kata sang Ayah yang menyakitkan hatinya.
Rara pun langsung bangkit dari tempat tidur dan seperti biasa dia sebelum beres-beres dan bersih-bersih ruangan didalam rumah. Rara merendam pakaiannya.
Disaat Rara sedang mengambil pakaian yang akan direndam dan dicuci, terdengarlah kata-kata yang melukai hatinya.
“Berisik nian, ganggu orang tiduk be.” Ujar sang Ayah marah-marah yang masih berada dikamar tidur.
Rara langsung terdiam dan duduk dilantai. “Ya, Allah. Kok selalu salah sih dimata Bapak. Bangun siang kena marah. Bangun subuh dibilang ganggu orang tidur. Apa sih maunya Bapak, ya Allah?” rintihan Rara dalam hati sehingga meneteskan air mata yang sudah tidak tertahan lagi.
Rara menghapus air matanya dan melanjutkan pekerjaannya lagi. Dia tidak perduli dengan apa yang diucapkan Bapaknya.
Waktu yang telah menunjukkan pukul 05.35 wib, Pak Zuhdi pun bangun dari tidurnya. Bu Priati pun menyusul. Sang Ibu langsung menghidupkan api kompor, setelah api kompor rata Ibu langsung mengambil ceret dan mengisinya dengan air bersih. Disaat Ibu sedang mengangkat ceret dan menaruhnya diatas api kompor, tiba-tiba terdengar kata-kata yang tidak mengenakkan.
“Percuma bae bangun pagi, tapi dak tek masak aek. Aturan masak aek dulu untuk buat kopi Bapaknyo. Ini idak. Sudahlah berisik banguni orang. Malah dak masak aek.” Ujar Pak Zuhdi marah-marah.
Rara yang sedang menyapu ruang tamu, terdengar kata-kata yang menyakitkan hati dengan sangat jelas. Rara hanya bisa meneteskan air mata, dan dia pun memperlambat menyapu ruang tamu.
“Bangun siang, dimarahi. Bangun subuh dapat sarapan ocehan pahit. Sebenarnya mau dio tu apo?” gumam Rara yang meneteskan air matanya.
Apa yang dilakukan oleh Rara semuanya salah, tidak ada yang benar dimata Bapaknya. Padahal dia sudah berusaha mencari perhatian Bapaknya dengan melakukan segala cara, tapi semuanya sia-sia.
Rara yang saat ini sedang libur kuliah, merasa tidak betah dirumah. Pikiran jahat selalu keluar dari otaknya. Dia merasa tidak sanggup menahan semua penderitaan didalam hidupnya.
***
Siang hari yang panas, dia mendapat SMS dari teman sejawatnya. Disaat dia membuka dan membacanya, ternyata isi SMS tersebut berisikan nilai-nilai selama dia mengikuti ujian semester. Rara pun terkejut melihat isi SMS tersebut.
“Astaghfirullah, ini tidak mungkin.” Tandas Rara terkejut.
Rara pun sedih melihat isi SMS itu. ternyata isi SMS tersebut adalah nilai-nilai Rara yang jelek, semua nilainya tidak ada yang memuaskan. Dia pun tidak dapat mempertahankan nilai-nilai bagusnya di semester lalu. Rara hanya termenung dan meratapi semua masalah yang dihadapinya.
Rara sudah berusaha belajar untuk menggapai nilai yang memuaskan, tapi ternyata semuanya sia-sia. Nilainya tetap saja jelek. Rara sudah bertekad dia akan berusaha memperjuangkan nilainya. Meskipun, dirumah dia harus mendapatkan sarapan yang menyakitkan hatinya.
Kehidupan memang pahit dan selalu mempunyai masalah. Itu semua ujian serta cobaan yang diberikan oleh Allah. Semua itu, diberikan untuk seluruh umat manusia. Apakah mereka mampu menyelesaikannya atau tidak.
Terkadang kehidupan membuat orang bahagia, tetapi mereka hadapi masalah dengan tawakal dan sabar.
Hidup?
Sebenarnya hidup itu menyenangkan bila dijalani dan dinikmati. Semua masalah bisa terselesaikan apabila kita selesaikan dan tanpa ada kata menyerah. Ya, meskipun masalah membuat orang lupa diri. Mereka yang tidak dapat menyelesaikannya terkadang bisa bunuh diri, gila atau apa pun itu namanya.
Jalanilah hidup dengan penuh ketenangan, kesabaran, dan bertawakal. Berdoalah dan meminta untuk memudahkan jalan untuk menyelesaikan masalah kepada Allah.
Itulah yang selalu dilakukan oleh Rara, dia selalu berdoa dan memohon pertolongan untuk memudahkan menyelesaikan masalah dan menambah kesabaran pada dirinya. Meskipun dengan sikap Bapaknya yang kejam, dia selalu berdoa agar sang Bapak diberi kesehatan dan kesabaran serta rezeki yang dapat menghidupi anak dan istrinya.

Jumat, 05 Agustus 2011

catatan pementasan teater

(catatan pementasan “Anak Lanun”)
Anak Lanun
Oleh Eka Sutrisni

Cerita Anak lanun merupakan pertunjukan yang berasal dari Teater Langkah di Unand. Yang mana Teater Langkah ini adalah teater kampus yang pertama di Sumatera Barat. Berdirinya teater langkah ini pada tahun 1986, awalnya teater Langkah ini dibawah naungan jurusan sastra Indonesia. Kemudian, Teater ini di tarik oleh Fakultas. Sempat teater Langkah ini di tarik oleh Universitas tetapi anggota teater Langkah tidak menyetujuinya. Sistem yang dilakukan teater Langkah dalam pergantian ketua yaitu dengan cara musyawarah.
Naskah Anak Lanun dibuat pada tahun 2006 dan selesai tahun 2007. Naskah Anak Lanun ini dibuat hanya membutuhkan waktu dua minggu. Naskah Anak Lanun ini pun pernah menjadi juara pada Temu Teater Kampus Fakultas Sastra Unand, Mei 2009. Naskah ini pun juga dipentaskan dalam Temu Karya Lima Teater Sumatra Barat, Mei 2009. Naskah tersebut sengaja dibuat tidak memiliki alur, sutradara pun memang tidak membuat alur-alur. Bagian awal merupakan bagian akhir dari pertunjukan.
Pinto Anugrah merupakan sutradara sekaligus penulis naskah anak lanun tersebut. Anak lanun merupakan naskah yang ke-3, yang dibuat oleh Pinto Anugrah naskah Anak Lanun ini menceritakan tentang bajak laut yang ada di Nusantara yang mana ditakuti oleh masyarakat zaman dulu. Dalam pertunjukan tersebut pun menceritakan tentang perebutan kekuasaan antara anak dan ayah. Cerita ini pun masuk ke dalam psikologi dan juga memasuki dunia halusinasi.
Cerita Anak Lanun ini berasal dari bahasa melayu untuk sebutan dari bajak laut. Sutradara atau penulis membuat cerita ini terinspirasi dari cerita beliau semasa kecil, yang mana pada saat beliau kecil selalu didongengkan oleh neneknya. Neneknya selalu mendongengkan beliau tentang bajak laut yang berasal dari barat.
Naskah ini berasal dari sejarah melayu kuno dan interaksi dengan ”tambo minang”. Dan ternyata memang ada bajak laut Nusantara yang berasal dari Batam. Setelah itu sutradara mulai masuk di sastra untuk belajar dan mengikuti studi pustaka dan studi lapangan pada tahun 2006. Sutradara sekaligus penulis naskah tersebut juga melakukan penelitian sampai ke Candi Muaro Jambi, kemudian jadilah penulisan itu Anak Lanun.
Secara keseluruhan pertunjukan bayak sekali catatan yang perlu menjadi perhatian. Dari segi keaktoran memang belum terlihat karakter yang kuat dari para pemain. Akting yang dipertontonkan seperti di pasar tradisional, tidak terlihat kejadian dikapal. Yang mana dialognya selalu tumpang tindih sepertinya pemain ingin cepat selesai. Pertunjukannya pun tidak terlihat kekuatan antara aktor dengan cerita yang membuat penonton seakan-akan tidak merasakan kejadian di kapal. Sepertinya pemain terlihat nervous. Tidak fokus. Bahkan banyak kesalahan-kesalahan dalam melakukan bloking, bahkan sempat membelakangi penonton. Musik yang digunakan dalam pengiringan pertunjukan tersebut sudah cukup bagus, tetapi didalam musik tersebut tidak ada suara deru ombak sehingga membuat penonton merasa tambah bingung, dan bertanya-tanya di laut atau didarat?
Dalam hal artikulasi kurang jelas. Vokal dari seluruh pemain tidak terlalu kuat dan selalu tumbur-tumburan sehingga membuat penonton tidak mengetahui apa maksud dari dialog yang diucapkan. Seharusnya para pemain menyadari bahwa pertunjukan tidak selalu harus berbisik-bisik dan tumbur-tumburan, harus ada tempo, penekanan, intonasi terhadap dialog-dialog tertentu. Agar keinginan sutradara dalam menyampaikan pesan kepada penonton bisa tercapai sepenuhnya.
Hal yang sangat perlu dipahami seorang Pinto Anugrah sebagai sutradara sekaligus penulis naskah kelemahannya adalah untuk membangun seorang aktor di dalam pementasan sangat sulit. Namun sutradara berusaha semaksimal mungkin dan memang persoalannya kekurangan aktor.
Saya barangkali penonton lainnya tidak merasakan apa maksud dan tujuan yang dipertunjukan. Belum lagi ada beberapa kalimat yang tidak jelas terdengar karena pemain terlalu cepat berdialog dan suara kurang keras.
Meskipun demikian, ada beberapa hal menarik yang patut dicermati. Tema yang diangkat Pinto Anugrah pada pertunjukan tersebut. Apalagi ceritanya tentang perebutan kekuasaan antara anak dan ayah, seakan-akan cerita itu menggambarkan tentang negara Indonesia yang selalu berlomba-lomba untuk menduduki jabatan atau kekuasaan sebagai pemerintah, bahkan segala upaya pun dilakukan.
Akhirnya, pertunjukan Anak Lanun itu setidaknya telah memberi ingatan kepada kita semua, bahwa terlalu banyak kejadian untuk berlomba-lomba menduduki jabatan atau tampuk kekuasaan di negara Indonesia. Sudah waktunya bagi kita untuk berpikir kembali akan keberadaan kita sebagai manusia Indonesia seutuhnya.



Jambi, 04 April 2011

Rabu, 25 Mei 2011

Puisi dengan pendekatan Strata Norma Roman Ingarden

TANAH KELAHIRAN

Seruling di pasir tipis, merdu
antara gundukan pohon pina
tembang menggema di dua kaki
Burangrang – Tangkubanprahu
Jamrut di pucuk-pucuk
Jamrut di air tipis menurun
Membelit tangga di tanah merah
dikenal gadis-gadis dari bukit
Nyanyikan kentang sudah digali
kenakan kebaya merah kepewayangan
Jamrut di pucuk-pucuk
Jamrut di hati gadis menurun.

Karya : Ramadan K.H.




Analisis dengan pendekatan Strata Norma Roman Ingarden

1. Lapis Bunyi
Pada bait pertama puisi Tanah Kelahiran lapis bunyinya adalah asonansi a dan u.
Contoh :
Seruling di pasir tipis, merdu
antara gundukan pohon pina
tembang menggema di dua kaki
Burangrang – Tangkubanprahu

Pada bait kedua ada asonansi u.
Contoh:
Jamrut di pucuk-pucuk
Jamrut di air tipis menurun
Pada bait ketiga ada asonansi a dan e.
Contoh :
Membelit tangga di tanah merah
dikenal gadis-gadis dari bukit
Nyanyikan kentang sudah digali
kenakan kebaya merah kepewayangan

pada bait keempat ada asonansi u.
Contoh :
Jamrut di pucuk-pucuk
Jamrut di hati gadis menurun.



2. Lapis Arti
Pada bait pertama pada puisi Tanah Kelahiran melukiskan tanah kelahiran yang terletak di antara Gunung Burangrang dan Tangkubanprahu sebagai daerah yang tenang tenteram dengan memanfaatkan kata pelambang : suling, merdu, tembang.
Contoh :
Seruling di pasir tipis, merdu
antara gundukan pohon pina
tembang menggema di dua kaki
Burangrang – Tangkubanprahu

Pada bait kedua melukiskan tanah kelahiran penyair sebagai daerah yang amat indah, kaya, dan subur. Pucuk-pucuk pohon hijau berkilauan seperti jamrut (batu permata berwarna hijau), demikian pula airnya yang jernih.
Contoh :
Jamrut di pucuk-pucuk
Jamrut di air tipis menurun

Pada bait ketiga melukiskan daerah yang berbukit-bukit dan jalan-jalannya dibuat seperti tangga yang seolah-olah membelit di tanahnya yang merah. Penduduknya hidup makmur dan bahagia, yang dilukiskan dengan kata-kata : gadis, nyanyikan kentang sudah digali, kenakan kebaya merah kepewayangan.
Contoh :
Membelit tangga di tanah merah
dikenal gadis-gadis dari bukit
Nyanyikan kentang sudah digali
kenakan kebaya merah kepewayangan

Pada bait keempat menekankan lagi keindahan, kekayaan, serta kesuburan tanah kelahiran penyair dengan penduduknya yang baik hati.
Contoh :
Jamrut di pucuk-pucuk
Jamrut di hati gadis menurun.
3. Lapis Dunia
Pada bait pertama pada puisi Tanah Kelahiran melukiskan tanah kelahiran yang terletak di antara Gunung Burangrang dan Tangkubanprahu
Pada bait kedua melukiskan tanah kelahiran penyair sebagai daerah yang amat indah, kaya, dan subur. Pucuk-pucuk pohon hijau berkilauan, demikian pula airnya yang jernih.
Pada bait ketiga melukiskan daerah yang berbukit-bukit dan jalan-jalannya dibuat seperti tangga yang seolah-olah membelit di tanahnya yang merah. Penduduknya hidup makmur dan bahagia
Pada bait keempat menekankan keindahan, kekayaan, serta kesuburan tanah kelahiran penyair dengan penduduknya yang baik hati.



4. Lapis Metafisis
Pada puisi ini penyair menyatakan bahwa tanah kelahirannya begitu indah dan mempesona serta kesuburan tanah kelahiran penyair dengan penduduknya yang baik hati.
Contoh :
Jamrut di pucuk-pucuk
Jamrut di air tipis menurun
Jamrut di pucuk-pucuk
Jamrut di hati gadis menurun.

Puisi dengan pendekatan Strata Norma Roman Ingarden

GADIS PEMINTA-MINTA

Setiap kita bertemu, gadis kecil berkaleng kecil
Senyummu terlalu kekal untuk kenal duka
Tengadah padaku, pada bulan merah jambu
Tapi kotaku jadi hilang, tanpa jiwa
Ingin aku ikut gadis kecil berkaleng kecil
Pulang ke bawah jembatan yang melulur sosok
Hidup dari kehidupan angan-angan yang gemerlapan
Gembira dari kemayaan riang
Duniamu yang lebih tinggi dari menara katedral
Melintas-lintas di atas air kotor, tetapi yang begitu kau hafal
Jiwa begitu murni, terlalu murni
Untuk bisa membagi dukaku
Kalau kau mati, gadis kecil berkaleng kecil
Bulan di atas itu, tak ada yang punya
Dan kotaku, ah kotaku
Hidupnya tak lagi punya tanda


Karya : Toto Sudarto Bachtiar



Analisis dengan pendekatan Strata Norma Roman Ingarden

1. Lapis Bunyi
Pada baris ke-1 ada asonansi e.
Contoh :
Setiap kita bertemu, gadis kecil berkaleng kecil

Pada baris ke-2 sampai ke-4 ada asonansi a dan u.
Contoh :
Senyummu terlalu kekal untuk kenal duka
Tengadah padaku, pada bulan merah jambu
Tapi kotaku jadi hilang, tanpa jiwa

Pada baris ke-5 ada asonansi e.
Contoh :
Ingin aku ikut gadis kecil berkaleng kecil

Pada baris ke-6 sampai ke-12 ada asonansi a dan u.
Contoh :
Pulang ke bawah jembatan yang melulur sosok
Hidup dari kehidupan angan-angan yang gemerlapan
Gembira dari kemayaan riang
Duniamu yang lebih tinggi dari menara katedral
Melintas-lintas di atas air kotor, tetapi yang begitu kau hafal
Jiwa begitu murni, terlalu murni
Untuk bisa membagi dukaku

Pada baris ke-13 sampai ke-16 ada asonansi a.
Contoh :
Kalau kau mati, gadis kecil berkaleng kecil
Bulan di atas itu, tak ada yang punya
Dan kotaku, ah kotaku
Hidupnya tak lagi punya tanda

Jadi, yang lebih dominan lapis bunyi dalam puisi Gadis Peminta Minta adalah asonansi a.



2. Lapis Arti
Pada bait pertama dan bait kedua puisi Gadis Peminta Minta meceritakan bahwa penyair sangat menyayangi gadis-gadis kecil yang meminta-minta dengan membawa kaleng kecil. Mereka hidup gembira meskipun kemewahan dan gemerlapnya dunia hanya melintas-lintas di angannya.
Contoh :
Setiap kita bertemu, gadis kecil berkaleng kecil
Senyummu terlalu kekal untuk kenal duka
Tengadah padaku, pada bulan merah jambu
Tapi kotaku jadi hilang, tanpa jiwa
Ingin aku ikut gadis kecil berkaleng kecil
Pulang ke bawah jembatan yang melulur sosok
Hidup dari kehidupan angan-angan yang gemerlapan
Gembira dari kemayaan riang

Pada bait ketiga penyair mengingatkan kepada kita semua bahwa kemanusiaan gadis peminta-minta itu derajatnya sama dengan kemanusian kita, yang mana Gadis Peminta Minta itu mempunyai arti yang sangat besar bagi kota itu.
Contoh :
Duniamu yang lebih tinggi dari menara katedral
Melintas-lintas di atas air kotor, tetapi yang begitu kau hafal
Jiwa begitu murni, terlalu murni
Untuk bisa membagi dukaku
Kalau kau mati, gadis kecil berkaleng kecil
Bulan di atas itu, tak ada yang punya
Dan kotaku, ah kotaku
Hidupnya tak lagi punya tanda

Penyair sangat iba melihat kenyataan itu, dan sangat sedih menyaksikan kehidupan mereka. Tapi kesedihan itu tidak dapat tersampaikan kepada mereka.



3. Lapis Dunia
Pada bait pertama dan bait kedua, puisi Gadis Peminta Minta ini menyatakan bahwa mereka adalah anak-anak yang penuh derita, tapi tak dirasakannya sebagai penderitaan. Kebahagiaan mereka pun berada digemerlapnya dunia.
Pada bait ketiga menyatakan bahwa martabat mereka lebih tinggi dari menara katedral meskipun hidupnya di kolong jembatan, di atas air sungai yang kotor. Gadis Peminta Minta mempunyai arti yang sangat besar bagi kota itu. Sehingga kota itu tak lagi punya tanda, bulan tak ada lagi yang punya bila gadis itu mati, sehingga kota dan bulan akan bersedih.



4. Lapis Metafisis
Penyair menceritakan bahwa ia sangat iba dan sangat sedih melihat kenyataan yang telah dialami oleh gadis-gadis kecil itu. Tapi kesedihannya tak dapat tersampaikan kepada mereka. Dan penyair pun mengingatkan kepada kita bahwa kemanusiaan gadis peminta-minta itu derajatnya sama dengan kemanusiaan kita.
Contoh :
Duniamu yang lebih tinggi dari menara katedral

Puisi dengan pendekatan Strata Norma Roman Ingarden

PEREMPUAN PEREMPUAN PERKASA

Perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta,
dari manakah mereka
Ke stasiun kereta mereka datang dari bukit-bukit desa
sebelum peluit kereta pagi terjaga,
Sebelum haru bermula dalam pesta kerja
Perempuan-perempuan yang membawa bakul dalam kereta,
ke manakah mereka
Di atas roda-roda baja mereka berkendara
Mereka berlomba dengan surya menuju gerbang kota
merebut hidup di pasar-pasar kota
Perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta,
siapakah mereka
Mereka ialah ibu-ibu yang perkasa
akar-akar yang melata dari tanah perbukitan turun ke kota
Mereka: cinta kasih yang bergerak menghidupi desa demi desa

Karya : Hartoyo AndangJaya




Analisis dengan pendekatan Strata Norma Roman Ingarden

1. Lapis Bunyi
Pada baris ke-1 dan ke-2 ada asonansi a.
Contoh :
Perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta,
dari manakah mereka

Dan pada baris ke-1 dan ke-2 pun terdapat aliterasi m (Perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta ; dari manakah mereka).



Pada baris ke-3 dan ke-4 ada asonansi a dan e.
Contoh :
Ke stasiun kereta mereka datang dari bukit-bukit desa
sebelum peluit kereta pagi terjaga,

Pada baris ke-5 dan ke-6 ada asonansi a dan e.
Contoh :
Sebelum haru bermula dalam pesta kerja
Perempuan-perempuan yang membawa bakul dalam kereta

Pada baris ke-7 dan ke-8 ada asonansi a dan e.
Contoh :
ke manakah mereka
Di atas roda-roda baja mereka berkendara

Pada baris ke-9 dan ke-10 ada asonansi a dan e.
Contoh :
Mereka berlomba dengan surya menuju gerbang kota
merebut hidup di pasar-pasar kota

Pada baris ke-11 dan ke-12 ada asonansi a dan e.
Contoh :
Perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta,
siapakah mereka

Pada baris ke-13 dan ke-14 ada asonansi a.
Contoh :
Mereka ialah ibu-ibu yang perkasa
akar-akar yang melata dari tanah perbukitan turun ke kota

Pada baris ke-15 ada asonansi a.
Contoh :
Mereka: cinta kasih yang bergerak menghidupi desa demi desa

Jadi, pada puisi Perempuan Perempuan Perkasa ini yang paling dominan adalah asonansi a.


2. Lapis Arti
Pada baris ke-1 sampai baris ke-7 menceritakan betapa gigihnya perjuangan hidup wanita-wanita pedesaan. Mereka datang dari tempat yang jauh pada saat hari masih gelap.
Contoh :
Perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta,
dari manakah mereka
tasiun kereta mereka datang dari bukit-bukit desa
sebelum peluit kereta pagi terjaga,
Sebelum haru bermula dalam pesta kerja
Perempuan-perempuan yang membawa bakul dalam kereta,
ke manakah mereka

Pada baris ke-8 sampai baris ke-15 menceritakan bahwa Mereka adalah pekerja-pekerja yang gigih dan keras kehidupannya. Mereka berjuang mati-matian untuk menghidupi keluarga, menghidupi desanya.
Contoh :
Di atas roda-roda baja mereka berkendara
Mereka berlomba dengan surya menuju gerbang kota
merebut hidup di pasar-pasar kota
Perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta,
siapakah mereka
Mereka ialah ibu-ibu yang perkasa
akar-akar yang melata dari tanah perbukitan turun ke kota
Mereka: cinta kasih yang bergerak menghidupi desa demi desa



3. Lapis Dunia
Pada baris ke-1 sampai baris ke-7, Puisi ini memberikan kesan betapa gigihnya perjuangan hidup wanita-wanita pedesaan, sehingga di sebutnya sebagai “perempuan-perempuan perkasa”. Mereka datang dari tempat yang jauh pada saat hari masih gelap.
Pada baris ke-8 sampai ke-15 meyatakan bahwa mereka adalah pekerja-pekerja yang gigih dan keras kehidupannya, yang di ungkapkan dengan “di atas roda-roda baja” (lebih memberikan kesan keras daripada “di atas kereta”). Mereka berjuang mati-matian untuk menghidupi keluarga, menghidupi desanya. Kerasnya perjuangan diungkapkan dengan “Merebut hidup” tidak dengan “mencari nafkah, mengais rezeki”.



4. Lapis Metafisis
Pada puisi Perempuan Perempuan Perkasa ini menyatakan bahwa seorang perempuan yang bekerja dan berjuang mati-matian, untuk menghidupi keluarga dan menghidupi desanya.
Contoh :
Perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta,
siapakah mereka
Mereka ialah ibu-ibu yang perkasa
akar-akar yang melata dari tanah perbukitan turun ke kota
Mereka: cinta kasih yang bergerak menghidupi desa demi desa

Puisi dengan pendekatan Strata Norma Roman Ingarden

1943

Racun berada di reguk pertama
Membusuk rabu teras di dada
Tenggelam darah dalam nanah
Malam kelam membelam
Jalan kaku-lurus. Putus
Candu
Tumbang
Tanganku menadah patah
Luluh
Terbenam
Hilang
Lumpuh
Lahir
Tegak
Berderak
Rubuh
Runtuh
Mengaum. Mengguruh
Menentang. Menyerang
Kuning
Merah
Hitam
Kering
Tandas
Rata
Rata
Dunia
Kau
Aku
Terpaku

Karya : Chairil Anwar

Analisis dengan pendekatan Strata Norma Roman Ingarden

1. Lapis Bunyi

Pembahasan lapis bunyi hanyalah ditujukan pada bunyi-bunyi yang bersifat “istimewa” atau khusus, yaitu bunyi-bunyi yang dipergunakan untuk mendapatkan efek puitis atau nilai seni. Misalnya pada baris ke-1 pada puisi 1943 ada asonansi a dan aliterasi r (racun berada di reguk pertama) ;di baris ke-2 ada asonansi a dan u ; di baris ke-3 ada asonansi a ; di baris ke-4 ada asonansi a dan aliterasi m (Malam kelam membelam); di baris ke-5 ada asonansi a dan u ; di baris ke-8 ada asonansi a ; di baris ke-9 ada asonansi u ; di baris ke-10 ada asonansi e ; di baris ke-12 ada asonansi u ; di baris ke-15 ada asonansi e ; di baris ke-16 - ke-18 ada asonansi u ; di baris ke-19 ada asonansi e ; di baris ke-24 – ke-26 ada asonansi a. Jadi, dalam analisis lapis bunyi pada puisi 1943 Chairil Anwar, yang paling dominant asonansinya adalah vocal berat a dan u.
Contoh :
Racun berada di reguk pertama
Membusuk rabu teras di dada
Tenggelam darah dalam nanah
Malam kelam membelam
Jalan kaku-lurus. Putus

Catatan :

Asonansi : Pengulangan bunyi vokal pada sebuah baris yang sama.

Aliterasi :
1. Pengulangan bunyi konsonan dari kata-kata yang berurutan.
2. Sajak/rima awal.



2. Lapis Arti

Baris 1-5 menggambarkan suasana yang sangat tidak enak, sangat pahit. Kalau dikaitkan dengan zamannya, suasana tersebut adalah zaman penjajahan Jepang yang penuh kekejaman dan kezaliman. Pahitnya suasana itu seperti racun yang membuat dada terasa seakan busuk, dalam keadaan darah --yang merupakan lambang kehidupan—tak ada lagi karena tenggelam dalam nanah (darah busuk), dalam keadaan “malam kelam membelam” (gelap gulita).



Contoh :
Racun berada di reguk pertama
Membusuk rabu teras di dada
Tenggelam darah dalam nanah
Malam kelam membelam
Jalan kaku-lurus. Putus

Pada baris 6-12 penyair mengungkapkan bahwa dirinya hanyut dalam suasana itu, ia hanya pasrah, hanya berdoa; tetapi tak ada hasilnya.
Contoh :
Candu
Tumbang
Tanganku menadah patah
Luluh
Terbenam
Hilang
Lumpuh
Lahir
Tegak
Berderak
Rubuh
Runtuh

Karena dengan hanya menengadahkan tangan tak ada perubahan, penyair pun dengan penuh semangat bangkit memberontak. Meskipun ia tak berdaya, jiwanya tetap tidak menyerah ( baris 13-19).
Contoh :
Lahir
Tegak
Berderak
Rubuh
Runtuh
Mengaum. Mengguruh
Menentang. Menyerang

Namun demikian keadaan tetap tak berubah. Maka penyair pun menyadari bahwa itulah yang sedang dikehendaki Tuhan.


3. Lapis Dunia

Baris 1-5 menceritakan suasana yang sangat tidak enak, sangat pahit. Apabila dikaitkan dengan zamannya, suasana tersebut adalah zaman penjajahan Jepang yang penuh kekejaman dan kezaliman.
Pada baris 6-12 penyair mengungkapkan bahwa dirinya hanyut dalam suasana itu. Pada baris ke 13-19 penyair selalu berdo’a dan penyair pun dengan penuh semangat bangkit memberontak.
Pada baris ke 20-30 penyair menyadari bahwa semua itu telah dikehendaki Tuhan, meskipun penyair telah berdo’a dan penyair pun hanya bisa pasrah.



4. Lapis Metafisis

Suasana yang sangat tidak enak dan sangat pahit. Suasana itu, ia hanya pasrah, hanya berdo’a, tetapi tidak ada hasilnya. Meskipun ia tak berdaya, jiwanya tetap tidak menyerah. Namun demikian keadaan tetap tidak berubah. Maka ia pun hanya menyadari bahwa itulah yang sedang dikehendaki Tuhan.

Contoh :
Tanganku menadah patah
Luluh
Terbenam
Hilang
Lumpuh
Lahir
Tegak
Berderak
Rubuh
Runtuh