Jumat, 05 Agustus 2011

catatan pementasan teater

(catatan pementasan “Anak Lanun”)
Anak Lanun
Oleh Eka Sutrisni

Cerita Anak lanun merupakan pertunjukan yang berasal dari Teater Langkah di Unand. Yang mana Teater Langkah ini adalah teater kampus yang pertama di Sumatera Barat. Berdirinya teater langkah ini pada tahun 1986, awalnya teater Langkah ini dibawah naungan jurusan sastra Indonesia. Kemudian, Teater ini di tarik oleh Fakultas. Sempat teater Langkah ini di tarik oleh Universitas tetapi anggota teater Langkah tidak menyetujuinya. Sistem yang dilakukan teater Langkah dalam pergantian ketua yaitu dengan cara musyawarah.
Naskah Anak Lanun dibuat pada tahun 2006 dan selesai tahun 2007. Naskah Anak Lanun ini dibuat hanya membutuhkan waktu dua minggu. Naskah Anak Lanun ini pun pernah menjadi juara pada Temu Teater Kampus Fakultas Sastra Unand, Mei 2009. Naskah ini pun juga dipentaskan dalam Temu Karya Lima Teater Sumatra Barat, Mei 2009. Naskah tersebut sengaja dibuat tidak memiliki alur, sutradara pun memang tidak membuat alur-alur. Bagian awal merupakan bagian akhir dari pertunjukan.
Pinto Anugrah merupakan sutradara sekaligus penulis naskah anak lanun tersebut. Anak lanun merupakan naskah yang ke-3, yang dibuat oleh Pinto Anugrah naskah Anak Lanun ini menceritakan tentang bajak laut yang ada di Nusantara yang mana ditakuti oleh masyarakat zaman dulu. Dalam pertunjukan tersebut pun menceritakan tentang perebutan kekuasaan antara anak dan ayah. Cerita ini pun masuk ke dalam psikologi dan juga memasuki dunia halusinasi.
Cerita Anak Lanun ini berasal dari bahasa melayu untuk sebutan dari bajak laut. Sutradara atau penulis membuat cerita ini terinspirasi dari cerita beliau semasa kecil, yang mana pada saat beliau kecil selalu didongengkan oleh neneknya. Neneknya selalu mendongengkan beliau tentang bajak laut yang berasal dari barat.
Naskah ini berasal dari sejarah melayu kuno dan interaksi dengan ”tambo minang”. Dan ternyata memang ada bajak laut Nusantara yang berasal dari Batam. Setelah itu sutradara mulai masuk di sastra untuk belajar dan mengikuti studi pustaka dan studi lapangan pada tahun 2006. Sutradara sekaligus penulis naskah tersebut juga melakukan penelitian sampai ke Candi Muaro Jambi, kemudian jadilah penulisan itu Anak Lanun.
Secara keseluruhan pertunjukan bayak sekali catatan yang perlu menjadi perhatian. Dari segi keaktoran memang belum terlihat karakter yang kuat dari para pemain. Akting yang dipertontonkan seperti di pasar tradisional, tidak terlihat kejadian dikapal. Yang mana dialognya selalu tumpang tindih sepertinya pemain ingin cepat selesai. Pertunjukannya pun tidak terlihat kekuatan antara aktor dengan cerita yang membuat penonton seakan-akan tidak merasakan kejadian di kapal. Sepertinya pemain terlihat nervous. Tidak fokus. Bahkan banyak kesalahan-kesalahan dalam melakukan bloking, bahkan sempat membelakangi penonton. Musik yang digunakan dalam pengiringan pertunjukan tersebut sudah cukup bagus, tetapi didalam musik tersebut tidak ada suara deru ombak sehingga membuat penonton merasa tambah bingung, dan bertanya-tanya di laut atau didarat?
Dalam hal artikulasi kurang jelas. Vokal dari seluruh pemain tidak terlalu kuat dan selalu tumbur-tumburan sehingga membuat penonton tidak mengetahui apa maksud dari dialog yang diucapkan. Seharusnya para pemain menyadari bahwa pertunjukan tidak selalu harus berbisik-bisik dan tumbur-tumburan, harus ada tempo, penekanan, intonasi terhadap dialog-dialog tertentu. Agar keinginan sutradara dalam menyampaikan pesan kepada penonton bisa tercapai sepenuhnya.
Hal yang sangat perlu dipahami seorang Pinto Anugrah sebagai sutradara sekaligus penulis naskah kelemahannya adalah untuk membangun seorang aktor di dalam pementasan sangat sulit. Namun sutradara berusaha semaksimal mungkin dan memang persoalannya kekurangan aktor.
Saya barangkali penonton lainnya tidak merasakan apa maksud dan tujuan yang dipertunjukan. Belum lagi ada beberapa kalimat yang tidak jelas terdengar karena pemain terlalu cepat berdialog dan suara kurang keras.
Meskipun demikian, ada beberapa hal menarik yang patut dicermati. Tema yang diangkat Pinto Anugrah pada pertunjukan tersebut. Apalagi ceritanya tentang perebutan kekuasaan antara anak dan ayah, seakan-akan cerita itu menggambarkan tentang negara Indonesia yang selalu berlomba-lomba untuk menduduki jabatan atau kekuasaan sebagai pemerintah, bahkan segala upaya pun dilakukan.
Akhirnya, pertunjukan Anak Lanun itu setidaknya telah memberi ingatan kepada kita semua, bahwa terlalu banyak kejadian untuk berlomba-lomba menduduki jabatan atau tampuk kekuasaan di negara Indonesia. Sudah waktunya bagi kita untuk berpikir kembali akan keberadaan kita sebagai manusia Indonesia seutuhnya.



Jambi, 04 April 2011