Rabu, 07 September 2011

cerpen "Sarapan Pagi"

Sarapan Pagi
Oleh Eka Sutrisni (E.S Aquarius)
Jambi, 27 Juli 2011 19:09 wib
Pagi hari yang habis diguyur hujan, Rara masih merebahkan badannya diatas tempat tidur. Dia pun menikmati dinginnya pagi yang menusuk ke dalam tulang. Ketika Rara sedang asyik menikmati dinginnya pagi, tiba-tiba terdengar.
“Punyo anak gadis dak pernah bangun subuh.” Ujar sang Bapak yang sedang menggendong seorang bayi.
Sesosok Ayah yang ganas, cerewet melebihi wanita dan selalu mencari kesalahan terhadap anaknya. Padahal dia tidak tahu betapa tersiksanya batin anak-anaknya. Sesosok ayah itu bernama Zuhdi, dia memiliki seorang istri yang bernama Priati. Suami istri itu, memiliki tiga orang anak. Anak-anak mereka yang pertama perempuan, anak yang kedua dan ketiga laki-laki. Anak pertama bernama Rara Triani, anak kedua bernama Raffi, dan anak yang bungsu nomor tiga bernama Ramanda.
“Mentang-mentang hari hujan, bangun nak siang jugo. Macam mano kalau punyo laki besok? Bangun bae siang terus.” Kata-kata yang menyakitkan terucap lagi dari bibir sang Ayah.
Ketika Rara hendak bangkit dari tempat tidur dan membuka pintu kamar, terdengarlah ujaran yang membuat Rara merasa sakit hati. Padahal Rara bangun dari tidurnya pada pukul 05.45 wib.
Menurut Rara jam segitu masih pagi, tetapi menurut Ayahnya itu sudah siang. Rara pun langsung bergegas membersihkan dan membereskan rumahnya. Seperti biasa, setiap bangun tidur Rara tidak langsung mencuci muka melainkan langsung beres-beres rumah dan mengambil sapu untuk mebersihkan ruangan.
Sebelum Rara beres-beres rumah, dia merendam pakaian yang akan dicuci. Menjelang semua kotoran di pakaian terangkat, Rara beres-beres dan membersihkan ruangan didalam rumah.
“Awak betino, tapi bangun siang terus. Kalau kau lah belaki, dak malu samo laki kau? Apolagi kalau kau tinggal samo mertuo. Lokak keno marah bae kau pagi-pagi.” Ujar Sang Bapak yang judes dengan kata-kata yang menyakitkan sambil menikmati kopi susu hangat.
Rara yang sedang asyik beres-beres dan membersihkan ruangan, terkejut mendengar ujaran itu. Rara pun tercengang mendengar ujaran pahit itu. Dia hanya bisa terdiam dan menahan sesak didada, matanya pun berkaca-kaca. Dia menahan air mata dan rasa sakit di hatinya dengan ujaran itu.
“Sudahlah, Pak! Kan dio jugo bangun dak sampe jam 9.” Sahut sang Ibu membela anaknya.
“Iyo sich! Tapi kan dio tuh betino, aturan bangun jam 4 subuh. Jadi, betino malas nean. Kalau dak di banguni dak bangun-bangun.” Tandas sang Bapak dengan suara lantang dan ketus.
Rara hanya bisa diam, dan dia tidak tahu harus berbuat apa. Tak ada senyuman yang menghiasi wajah Rara yang manis dan selalu ceria di depan orang-orang. Rara yang tidak sombong dan ramah itu harus menerima kepahitan hidup yang setiap hari dan sepanjang hidupnya. Seolah-olah Rara bukan anak kandung dari Pak Zuhdi dan Bu Priati.
“Sebenarnya aku ini siapa? Apakah aku bukan anak kandung mereka?” pertanyaan yang timbul dari hati Rara sambil menyapu ruangan kamar.
“Tengok tuh anak kau! Kalau dibilangi muncungnyo panjang. Ngambek.” Tandas Pak Yudi ketus.
Rara hanya menahan rasa kecewa dan sakit hati kepada Bapaknya. Padahal Rara tidak pernah seperti apa yang dikatakan Bapaknya. Rara hanya diam tanpa kata, karena tidak mau ribut dengan Bapaknya. Apalagi umur Rara yang sudah beranjak 22 tahun. Dia harus bersikap dewasa dan sabar.
“Ado apo sih? Ribut nian, kayak di pasar angso bae.” Sahut Raffi adik Rara yang baru bangun dari tidurnya.
“Ini sikok lagi, jantan dak tau diri. Sudahlah bangun siang, dak pernah bantu orangtuo, sibuk pulo.” Tandas sang Bapak kesal.
Raffi pun langsung terdiam dan wajahnya memucat. Raffi anak kedua dari Pak Zuhdi dan Bu Priati adalah seorang anak yang pemalas, tidak pernah membantu orangtuanya. Semenjak TK sampai dia tamat SMA, dia selalu dimanja. Kerjaannya hanya ngluyur saja. Orangnya keras kepala, tidak mau diperintah orangtua ataupun kakaknya. Tetapi, kalau disuruh sama orang dia sangat cepat sekali.
Rara selalu memaklumi sifat dan sikap adiknya yang tidak pernah menolong keluarganya sendiri. Karena selalu dimanja Raffi menjadi anak yang suka ngelawan sama orangtua. Apalagi dia tahu dengan sifat Bapaknya yang kejam dan cerewet itu.
“Hmm, dasar burung beo.” Ujar Raffi dengan suara pelan.
Setelah Rara selesai beres-beres dan menyapu ruangan di dalam rumah. Rara pun langsung menuju kamar mandi dan menyuci pakaian yang sudah direndamnya tadi sebelum beres-beres rumah dan menyapu ruangan.
***

Pagi hari yang dingin dan diguyur hujan lagi ditambah dengan padamnya lampu. Membuat Rara malas untuk turun dari tempat tidur. Rara pun menarik selimutnya yang tebal. Pagi itu masih pukul 4 subuh, tetapi Rara tidak bisa memejamkan matanya karena dia ingat kata-kata sang Ayah yang menyakitkan hatinya.
Rara pun langsung bangkit dari tempat tidur dan seperti biasa dia sebelum beres-beres dan bersih-bersih ruangan didalam rumah. Rara merendam pakaiannya.
Disaat Rara sedang mengambil pakaian yang akan direndam dan dicuci, terdengarlah kata-kata yang melukai hatinya.
“Berisik nian, ganggu orang tiduk be.” Ujar sang Ayah marah-marah yang masih berada dikamar tidur.
Rara langsung terdiam dan duduk dilantai. “Ya, Allah. Kok selalu salah sih dimata Bapak. Bangun siang kena marah. Bangun subuh dibilang ganggu orang tidur. Apa sih maunya Bapak, ya Allah?” rintihan Rara dalam hati sehingga meneteskan air mata yang sudah tidak tertahan lagi.
Rara menghapus air matanya dan melanjutkan pekerjaannya lagi. Dia tidak perduli dengan apa yang diucapkan Bapaknya.
Waktu yang telah menunjukkan pukul 05.35 wib, Pak Zuhdi pun bangun dari tidurnya. Bu Priati pun menyusul. Sang Ibu langsung menghidupkan api kompor, setelah api kompor rata Ibu langsung mengambil ceret dan mengisinya dengan air bersih. Disaat Ibu sedang mengangkat ceret dan menaruhnya diatas api kompor, tiba-tiba terdengar kata-kata yang tidak mengenakkan.
“Percuma bae bangun pagi, tapi dak tek masak aek. Aturan masak aek dulu untuk buat kopi Bapaknyo. Ini idak. Sudahlah berisik banguni orang. Malah dak masak aek.” Ujar Pak Zuhdi marah-marah.
Rara yang sedang menyapu ruang tamu, terdengar kata-kata yang menyakitkan hati dengan sangat jelas. Rara hanya bisa meneteskan air mata, dan dia pun memperlambat menyapu ruang tamu.
“Bangun siang, dimarahi. Bangun subuh dapat sarapan ocehan pahit. Sebenarnya mau dio tu apo?” gumam Rara yang meneteskan air matanya.
Apa yang dilakukan oleh Rara semuanya salah, tidak ada yang benar dimata Bapaknya. Padahal dia sudah berusaha mencari perhatian Bapaknya dengan melakukan segala cara, tapi semuanya sia-sia.
Rara yang saat ini sedang libur kuliah, merasa tidak betah dirumah. Pikiran jahat selalu keluar dari otaknya. Dia merasa tidak sanggup menahan semua penderitaan didalam hidupnya.
***
Siang hari yang panas, dia mendapat SMS dari teman sejawatnya. Disaat dia membuka dan membacanya, ternyata isi SMS tersebut berisikan nilai-nilai selama dia mengikuti ujian semester. Rara pun terkejut melihat isi SMS tersebut.
“Astaghfirullah, ini tidak mungkin.” Tandas Rara terkejut.
Rara pun sedih melihat isi SMS itu. ternyata isi SMS tersebut adalah nilai-nilai Rara yang jelek, semua nilainya tidak ada yang memuaskan. Dia pun tidak dapat mempertahankan nilai-nilai bagusnya di semester lalu. Rara hanya termenung dan meratapi semua masalah yang dihadapinya.
Rara sudah berusaha belajar untuk menggapai nilai yang memuaskan, tapi ternyata semuanya sia-sia. Nilainya tetap saja jelek. Rara sudah bertekad dia akan berusaha memperjuangkan nilainya. Meskipun, dirumah dia harus mendapatkan sarapan yang menyakitkan hatinya.
Kehidupan memang pahit dan selalu mempunyai masalah. Itu semua ujian serta cobaan yang diberikan oleh Allah. Semua itu, diberikan untuk seluruh umat manusia. Apakah mereka mampu menyelesaikannya atau tidak.
Terkadang kehidupan membuat orang bahagia, tetapi mereka hadapi masalah dengan tawakal dan sabar.
Hidup?
Sebenarnya hidup itu menyenangkan bila dijalani dan dinikmati. Semua masalah bisa terselesaikan apabila kita selesaikan dan tanpa ada kata menyerah. Ya, meskipun masalah membuat orang lupa diri. Mereka yang tidak dapat menyelesaikannya terkadang bisa bunuh diri, gila atau apa pun itu namanya.
Jalanilah hidup dengan penuh ketenangan, kesabaran, dan bertawakal. Berdoalah dan meminta untuk memudahkan jalan untuk menyelesaikan masalah kepada Allah.
Itulah yang selalu dilakukan oleh Rara, dia selalu berdoa dan memohon pertolongan untuk memudahkan menyelesaikan masalah dan menambah kesabaran pada dirinya. Meskipun dengan sikap Bapaknya yang kejam, dia selalu berdoa agar sang Bapak diberi kesehatan dan kesabaran serta rezeki yang dapat menghidupi anak dan istrinya.