Selasa, 01 Januari 2013

Sejarah Desa Niaso

SEJARAH ASAL USUL BERDIRINYA DESA NIASO Desa niaso terletak diseberang kota Jambi yang lebih tepat lagi diseberang desa Kunangan. Desa ini berjarak ± 20 km dari Kota Jambi, terletak di Kecamatan Maro Sebo Kabupatn Muaro Jambi diujung Kecamatan Maro Sebo berbatasan langsung dengan desa Bakung dan diujung kota Jambi berbatasan dengan Tanjung Johor Kecamatan Pelayangan Kota Madya Jambi. Untuk bisa sampai kedesa Niaso, kita bisa menempu perjalanan dengna menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat dengan melewati jembatan aurduri II, ± 20 meter setelah jembatan aurduri II belok kekiri dan tidak begitu jauh maka terlihat jembatan pembatas antara jembatan aurduri II kota Jambi dengan Desa Niaso. Kemudian ikuti jalan yang menyusuri pinggiran sungai Batanghari yang berada disebelah kanan, pada saat bertemu 2 toko yang berada dipinggir jalan sebelah kiri dan bertemu lorong, masuk saja kelorong sebelah kiri tersebut. Pada zaman dahulu kala belum ada yang namanya desa Niaso. Diseberang Desa Niaso sekarang terdapat sungai Niaso, yang dahulu sungai ini juga belum memiliki nama. Deseberang sungai ini dahulu ± 1 km masuk kedalam hutan ada sebuah pemukiman penduduk yang kurang lebih memiliki 7 buah rumah huni untuk penduduk setempat, mereka adalah orang pendatang semua yang terdiri dari beberapa suku, yaitu suku Melayu dan suku Jawa, mereka masuk kehutan membuat pemukiman sendiri jauh dari pemukiman yang lain dikarenakan mereka tidak mau dijajah oleh Belanda. Asal mula mereka datang menemukan pemukiman baru ini dengan menelusuri sungai Batanghari lama menelusuri sungai mereka menemukan muaro sungai mereka pun memasuki muaro sungai, terus memasuki anak sungai ini, sesampai disungai kecil ini medan yang dilewati makin berat karena dipermukaan air sungai banyak sekali terdapat tumbuhan kiambang dalam bahasa setempat, yang lebih kita dikenal dengan nama tumbuhan encenggondok, dengan susah payah menempuh medan berat yang membutuhkan perjalanan satu hari penuh, mereka pun mulai naik kedaratan perjalanan pun dilanjutkan dengan berjalan kaki, rombongan ini berjalan terus masuk kedalam hutan setelah kurang lebih menempuh perjalanan yang berjarak 1 km dari sungai akhirnya berhenti untuk beristirahat, badan mereka terasa letih menempuh perjalanan panjang. Setelah mereka merasa segar kembali mereka pun pergi meninggalkan tempat peristirahatan, akhirnya tempat yang mereka singgah menjadi tempat pemukiman. Setelah itu mulailah mereka mendirikan pondok-pondok untuk tempat tinggal mereka, maka diperkirakan berdirilah sebanyak 7 buah pondok tempat tinggal mereka dan diperkirakan pondok ini semuanya menghadap kebarat yaitu menghadap matahari tenggelam. Kehidupan mereka mulai dijalankan seperti pada masyarakat umum lainnya, haripun mulai berganti hari, bulan berganti bulan, tahun berganti tahun, keluarga mereka pun mulai bertambah dengan datangnya angka kelahiran. Tapi ada yang membuat resah hati mereka yaitu berapa banyak yang lahir selalu seimbang dengan angka kematian diantara penduduk, mereka mulai berpikir untuk mengatasi permasalahan yang sedang dihadapi karena dari 7 buah pondok tidak bertambah, jumlah pondok tidak bertambah berarti penduduknya pun juga tidak bertambah, akhirnya untuk mengatasi permasalahan yang ada mereka pindah dari dusun ini untuk mendari tempat yang baru, diperkirakan lebih baik dari tempat yang sekarang mereka huni. Dusun ini akhirnya dikenal dengan nama Dusun Tuo, didusun tuo ini belum diketahui berapa lama menjadi perkampungan tempat tinggal asli warga niaso. Perjalanan pencari tempat baru untuk dijadikan perkampungan pun mulai dilakukan, mereka meninggalkan dusun tuo perjalanan pun dimulai menelusuri lebatnya hutan belantara dengan membawa semua perlengkapan rumah tangga yang dianggap sangat diperlukan untuk bekal diperjalanan maupun untuk menyambung hidup baru, kurang lebih berjarak 500 meter dari dusun tuo mereka berhenti, kalau dihitung dari pinggir anak sungai jaraknya ± 1.5 km dan mulailah membangun perkampungan baru, bahu membahu mereka mulai mendirikan pondok/rumah untuk tempat tinggal, rasa kekeluargaan diantara mereka sangat tinggi walaupun terdiri dari berbagai suku. Ditempat yang baru ini penduduknya mulai bertambah dapat dilihat dari 7 buah rumah diperkirakan waktu itu menjadi 17 buah, ini tentu menjadi perkembangan yang sangat baik dalam pertumbuhan penduduk , pertumbuhan ini menimbulkan semangat baru bagi mereka, kehidupan dijalankan dengan adat istiadat yang mereka tetapkan untuk menambah kerukunan diantara mereka, haripun mulai berganti hari, tahun berganti tahun, kehidupan dijalankan sebagaimana mestinya, rupa-rupanya pertumbuhan penduduk ini tidak lebih dari sebatas 17 rumah saja, nasib sebatas 17 rumah saja, nasib yang terjadi didusun tuo terulang kembali didusun baru ini, dusun baru ini dinamakan dengan nama Dusun Lamo, diperkirakan pada waktu itu tiap tahunnya angka kelahiran selalu diimbangi dengan angka kematian kembali, permasalahan ini kembali membuat resah hati penduduk. Ditengah - tengah penduduk tersebut ada seorang ulama yang cukup disegani oleh sesama penghuni dusun ini, Ia bernama Syekh Usman Daud Bapaknya berasal dari keturunan Turki yaitu anak dari Datuk Berhalo sedangkan Ibunya berasal dari Kerinci. Pada suatu hari Syekh Usman Daud berjalan-jalan terus menyelusuri sungai yang airnya hitam ini, perjalanan panjang akhirnya sampai juga menuju muaro sungai. Muaro sungai ini menghubungkan dengan sungai Batanghari, sesampai kemuaro sungai, mata Syekh Usman Daud tertuju ke dalam sungai, dilihatnya banyak sekali ikan didalamnya, diambilnya rumput dipinggir sungai dilemparkan rumput tadi kedalam sungai. Rupanya apa yang terjadi, ikan tadi berebutan memakan rumput, karena melihat banyak sekali ikan untuk memancing, tapi Syekh merasa bingung karena tidak membawa pancing untuk menangkap ikan, lama berpikir akhirnya timbul ide dilihatnya dijari tangannya ada sebuah cincin Suwaso berwarna kekuning-kuningan, dilepaslah cincin tersebut yang bertujuan untuk dibuat kail pancing, cincin tersebut diluruskan terus dibengkokan kembali, dibentuk mirip sebuah mata kail pancing terus diikatkan ke sebuah tali yang berada di pinggirnya, sewaktu mau meletakkan pancing ke sungai Syekh memotong kulit telapak kakinya untuk dijadikan umpan. Karena potongannya terlampau dalam hingga kakinya mengeluarkan darah, tapi alangkah terkejutnya Syekh meliha darahnya bukan berwarna merah tapi berwarna putih, tapi akhirnya tidakh di hiraukannya darah yang terus keluar, niat memancing terus dilaksanakan, pancingan pun dilemparkan kedalam sungai, tidak begitu lama pancingan Syekh ditarik ikan, setelah diangkat terlihatlah yang memakan pancingan Syekh, dan ternyata Ikan Kalso atau nama lain ikan Harwana. Dari kisah memancing inilah muaro sungai tadi dinamakan Niaso yang berasal dari kata cincin suwaso dan ikan kalso. Muara sungai yang dinamakan Niaso merambah terus menjafi nama sungai yang ada di dalam muaro sungai tersebut. Kita kembali ke kisah Syekh Usman Daud yang memancing ikan tersebut, Syekh merasa senang mendapat ikan tersebut, ia pun pulang ke dusun Lamo, kembali menyusuri sungai umtuk menuju perjalanan pulang akhirnya perjalanan menuju Desa Lamo sampai juga, sesampai di Dusun orang-orang heran melihat Syekh membawa ikan kalso yang ukurannya cukup besar tapi tidak ada satupun membawa peralatan yang menangkap ikan. Orang-orang pun akhirnya beramai-ramai mendekati Syekh Usman Daud menanyakan bagaiman bisa mendapat ikan kalso tersebut, akhirnya Syekh Usman Daud menceritakan kisah penangkapan ikan tersebut, dan menunjukan telapak kakinya mata orang-orang tertuju pada kai Syekh, sewaktu dilihat darah masih mengalir dari telapak kaki Syekh, orang-orang pun menanyai Syekh mengapa darah yang keluar bukan berwarna merah tetapi berwarna putih tanya warga dengan nada yang sedikit bingung, Syekh pun juga merasa bingung, Syekh menjawab :”saya juga tidak tahu mengapa darah saya berwarna putih”. Kisah tersebut terus menerus menjadi perbincangan penduduk setempat. Syekh merupakan orang yang disegani selain itu juga dituakan di dusun tersebut dengan kejadian tersebut semenjak dahulu hingga sekarang Syekh Usman Daud lebih dikenal dengan nama Datuk Darah Putih. Marilah kita ceritakan asal desa Niaso sekarang, yanng mana perpindahan desa yang untuk ketiga kalinya atau untuk terakhir kalinya. Letak Desa Niaso yang sekarang kita kenal dahulu mmerupakan hhutan bekantara tannpa penghuni. Pada ± tahun 1920 ada seorang yang bernama Kemas Ngebi Jalil, Ngebi merupakan gelar kehormatan yang diberikan kolonial Belanda pada orang pribumi yang diangggap berjasa kepada kolonial Belanda. Kemas Ngebi Jalil berasal dari desa Setiris kedatangannya ketempat ini bertujuan untuk berkebun karet dan kebun-kebun lain yang bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, setelah membuka kebun Kemas Ngebi Jalil merasakan tempat ini bagus untuk dijadikan perkebunan akhirnya ia mengajak keluarga dan kerabatnya untuk membuka kebun bersama-sama, pekerjaan membuka kebun terus dilaksanakan, dirasa bolak-balik dari Desa Setiris cukup jauh akhirnya Kemas Ngebi Jalil mendirikan pondok bersama keluarga dan kerabat supaya kebun yang mereka kerjakan sesuai dengan hasil yang diharapkan. Tahun pun berganti tahun dan pada akhirnya mereka menetap dikebun ini layaknya seperti dususn yang baru dibuka, rombongan dari desa Setiris ini berkembang biak, angka kelahiran pun bertambah, berita tentang perkembangan penduduk asal desa Setiris menjadi perhatian khusus dimata Dusun Lamo, mulailah timbul niat penduduk dusun Lamo untuk berbaur dengan penduduk pendatang dari Desa Setiris, dengan lapang dada rombongan asal Setiris memberikan bidang tanah untuk dijadikan tempat tinggal penduduk dusun lamo, semenjak itu penduduk dusun Lamo semuanya ikut berbaur keluar dari dusunnya, mereka hidup berdampingan dengan paendatang dari Desa Setiris, dusun Lamo akhirnya ditinggalkan penduduknya. Semenjak keluarnya penduduk Dusun Lamo meninggalkan dusunnya, bergabung dengan Kemas Ngebi Jalil, perkembangan penduduk dusun Lamo juga mengalami pertumbuhan, hubungan antara penduduk dusun Lamo juga mengalami pertumbuhan, hubungan antara penduduk dusun Lamo dengan penduduk dari asal Setiris mungkin begitu akrab bagaikan satu keluarga yang tidak dapat dipisahkan dan juga terjadilah perkawinan antara penduduk dusun Lamo dengan penduduk asal Setiris, rasa kekeluargaan ini terjalin erat hingga sampai sekarang. Dengan kejadian hijrahnya penduduk dusun Lamo bergabung dengan rombongan asal Setiris ini merupakan untuk ketiga kalinya perpindahan penduduk asli Dusun Lamo, karna dusun baru ini belum memilki nama maka diambilah nama sungai Niaso dijadikan nama desa Niaso. Bukti sejarah Dusun Tuo dan Dusun Lamo masih ada hingga sekarang, dari penuturan datuk SARBAINI mantan kepala kampung yang menjabat pada tahun 1973 hingga 1994 mengatakan pernah ditemui perlengkapan rumah tangga berupa guci dan pedang dibekas dusun ini sewaktu warga membuka lahan untuk dijadikan perkebunan karet, bukti disini dahulu ada pernah didirikan dua buah dusun dapat dilihat dengan bukti adanya kuburan, dan salah satu makam tersebut diyakini oleh warga setempat adalah makam seorang ulama yang bernama Syekh Usman Daud yang lebih dikenal dengan gelar Datuk Darah Putih. Bagi warga setempat makam ini dijadikan makam keramat, keramat dengan kata lain sebutan untuk makam orang suci. Adapun beberapa orang yang pernah memegang tampuk kepemimpinan didesa Niaso tempo dulu hingga sekarang tahun 2009 diantaranya ; dengan gelar penghulu yaitu, pertama penghulu Sahpudin menjabat ± tahun 1920 sampai 1931, kedua penghulu Usman menjabat ± tahun 1931 sampai 1935, ketiga penghulu Nafiah menjabat ± tahun 1935 sampai 1947, keempat penghulu Yusup menjabat ± tahun 1947 sampai 1950, pada periode kepemimpinan yang kelima berubah nama dari penghulu menjadi kepala kampung, yang kelima yaitu; kepala kampung M. Nafiah menjabat ± tahun 1950 sampai 1971 , keenam kepala kampung Ilyas menjabat ± 1971 sampai 1973, ketujuh kepala kampung Sarbaini tahun 1973 sampai 1994 di tengah-tengah kepemimpinan Datuk Sarbaini terjadi perubahan nama yang memimpin desa dai kepala kampung menjadi KADES, kedelapan dipimpin oleh Kades Jufri dari tahun 1994 sampai 2008 dan yang kesembilan dipimpin Kades Zulkifli menjabat dari akhir tahun 2008 sampai sekarang. Jadi mulai berdirinya desa Niaso hingga sekarang telah dipimpin sebanyak 9 orang pemimpin desa, ditangan sembilan datuk inilah desa Niaso menjadi maju, yang dahulunya desa ini jauh tertinggal dan bahkan tidak diketahui oleh orang luar. Hingga akhirnya menjadi sejajar dengan desa-desa tetangga. Apabila didalam penulisan kata-kata, nama, tempat, waktu, dan tahun kurang tepat dengan sejarah yang sebenarnya dan kurang berkenan dihati para sejarah desa Niaso, kami minta maaf dan menerima kritik dan saran untuk memperbaiki isi tulisan asal usul desa Niaso. Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih. Narasumber : 1. Ketua BPD sekarang Bapak A. Sani